TikTok menegaskan posisinya sebagai platform pemasaran yang mampu mendorong hasil bisnis nyata, bukan sekadar ruang hiburan atau tren viral. Pernyataan ini disampaikan oleh Rema Vasan, Head of North American Business Marketing TikTok, dalam ANA Masters of Marketing Conference di Orlando, Amerika Serikat. Melalui paparannya, Vasan menyoroti bagaimana TikTok kini berperan sebagai mesin komersial yang efektif dalam menghubungkan budaya, kreativitas, dan kinerja bisnis.
Dalam forum tersebut, Vasan menyebut tiga tema besar yang menjadi fokus industri pemasaran saat ini: kaburnya batas antara brand marketing dan performance marketing, perlunya mengukur kinerja pemasaran dengan metrik bisnis, serta peran kecerdasan buatan (AI) dalam memperkuat, bukan menggantikan, kreativitas manusia.
“Brand dan performance bukan dua hal terpisah. Pemasaran membangun dan menangkap permintaan dalam satu alur,” ujar Vasan. “Kita juga perlu berbicara dengan bahasa bisnis, bukan jargon pemasaran. Dan yang ketiga, AI seharusnya melengkapi, bukan menggantikan kreativitas manusia.”
Menurutnya, ketiga tema tersebut juga merefleksikan perjalanan TikTok dari yang awalnya sekadar platform pemantik budaya populer menjadi platform komersial dengan hasil terukur. Vasan menggambarkan perannya sebagai “marketer’s marketer,” karena audiens utamanya bukan konsumen, melainkan para pemasar, CMO, dan agensi yang ingin menerjemahkan kekuatan budaya TikTok menjadi hasil bisnis.
Dalam menjalankan fungsi itu, timnya menerapkan pendekatan “TikTok-first”, yakni membuat kampanye yang terasa seperti bagian alami dari konten di feed. Strategi ini menjadi dasar dalam setiap upaya pemasaran B2B TikTok, yang menggabungkan kreativitas, keaslian, dan edukasi untuk membantu merek memahami cara menghubungkan budaya dengan hasil penjualan.
Vasan menepis anggapan bahwa TikTok hanya efektif untuk tujuan upper funnel seperti awareness. Ia menegaskan bahwa sejumlah merek besar seperti Ulta, Ray-Ban, dan Skittles telah meraih hasil terukur dalam kampanye yang dirancang dengan pendekatan TikTok-first.
Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok juga memperkuat sisi teknologinya melalui alat otomatis berbasis AI seperti Smart+, GMV Max dan Symphony. Kedua sistem ini membantu pengiklan mengoptimalkan penargetan, materi kreatif, dan frekuensi iklan untuk memaksimalkan ROI.
“Pesan kami sederhana,” kata Vasan. “TikTok bukan kanal gengsi, melainkan kanal bernilai.”
Selain memperkuat kapabilitas AI, TikTok kini juga menargetkan ranah pencarian dan e-commerce. Data internal menunjukkan satu dari empat pengguna TikTok melakukan pencarian dalam 30 detik setelah membuka aplikasi, dan aktivitas pencarian meningkat 40% dalam setahun terakhir.
“Orang menemukan hal-hal baru lewat sudut pandang autentik dari pengguna lain, dan itu menjadi peluang performa bagi brand campaign,” jelas Vasan
Melalui kombinasi budaya, pencarian, dan perdagangan, TikTok perlahan berubah menjadi mesin komersial sekaligus kultural. Vasan menyebut tren ini sebagai bukti bahwa inspirasi dan transaksi kini berjalan berdampingan di platform tersebut.
Menutup pernyataannya, Vasan menegaskan bahwa meskipun AI memainkan peran penting, manusia tetap menjadi pusat kreativitas. “AI bisa mempercepat dan memperluas ide, tapi tidak bisa menggantikannya. Kreativitas tetap lahir dari manusia.”
Dengan visi itu, TikTok berupaya membuktikan bahwa platform yang selama ini identik dengan tren viral juga dapat menjadi tempat bagi kinerja bisnis yang nyata dan terukur. “Ada jalur performa di TikTok,” kata Vasan. “Kultur mendorong konversi, dan kami hanya berusaha memastikan semua sektor industri bisa melihat buktinya.”








Tinggalkan Balasan